Senin, 22 Juli 2013

Filsafat Manajemen ( Bahan Referensi)

“FILSAFAT” adalah pengetahuan yang tertua dalam peradaban manusia, karena ia berkutat dengan pertanyaan yang paling awali dari manusia – ”apa”? Jadi, sejajar dengan itu, ”filsafat manajemen” menggumuli pertanyaan ”apa” yang ada di balik teknis dan praktis manajemen. Bila ”motivasi manajemen” terletak di hati sanubari – di ”pusat kehendak” -- manusia, ”filsafat manajemen” bersemayam di otak – di ”pusat kendali/operasi”-- tingkah laku manusia. Ia berfungsi bagaikan ”kompas”. Menentukan jalan dan arah yang harus ditempuh.
Tahu banyak tentang bagaimana cara berenang yang benar, tidak dengan sendirinya membuat orang bisa berenang. Pengetahuan ini bahkan nyaris tak ada gunanya, bila yang bersangkutan tidak pernah mencemplungkan dirinya ke air dan … berenang! Yang ingin saya katakan adalah, bahwa tak ada jalan lain untuk belajar berenang, kecuali dengan berenang! Begitu pula dengan belajar mengemudi, belajar memasak, belajar komputer, atau belajar apa saja. Memanaje juga begitu. Anda tidak bisa belajar memanaje, hanya dengan mengikuti sebanyak mungkin seminar manajemen. Tak peduli berapa juta rupiah yang telah Anda bayar. Tak bisa pula sekadar dengan masuk ke program S-2 atau S-3 dalam ilmu manajemen. Sekali pun Anda berhasil mendapatkan ijazah dan meraih gelar. Satu-satunya cara bila Anda mau belajar memanaje, adalah dengan memanaje. Dan apakah seseorang adalah benar-benar manajer, ditentukan oleh ”gaya manajemen”nya. Oleh baik-tidaknya ia memanaje.
KETERAMPILAN teknis memanaje dan kemampuan manajerial tentu penting. Tapi tidak cukup. Sebab ada yang sangat kualitatif. Dalam manajemen, ada nilai-nilai yang mendasar yang tersangkut di situ. Sama seperti pintar cari uang tidak serta merta membuat seseorang otomatis menjadi seorang suami teladan, begitu pula pandai berorganisasi tidak dengan sendirinya menahbiskan seseorang menjadi manajer jempolan. Setuju?
Seorang manajer yang baik adalah seorang yang dapat memanaje dengan baik. Benar! Tapi ”bagaimana” (= how) ia – secara praktis -- melaksanakan manajemennya, ini ditentukan oleh apa yang disebut ”filsafat manajemen”. Artinya, pemahaman yang bersangkutan mengenai ”apa” (= what) manajemen itu. Dan, pada gilirannya, pemahaman mengenai ”apa” manajemen itu, ditentukan oleh ”motivasi” (= why) manajemen yang bersemayam di hati orang per orang. Itu sebabnya, pembicaraan yang panjang lebar mengenai motivasi dan nilai-nilai. Seorang ”tukang manajer” tidak memerlukan itu. Tapi seorang ”manajer sejati” dikemudikan oleh itu.
Namun demikian, saya tahu, bahwa semua pembicaraan tentang motivasi dan nilai-nilai itu akan mubazir, sia-sia dan percuma, bila ia berhenti menjadi sesuatu yang ”normatif” belaka. Artinya, tidak ”operatif”. Karena itu, sekarang saya mesti menukik ke tataran yang ”sedikit” lebih operasional. Kita akan membahas masalah ”filsafat manajemen”.
APAKAH ”filsafat manajemen” itu? Tentang ”manajemen”, sedikit banyak, kita telah membahasnya. Tapi mengenai ”filsafat”, belum. Sebagaimana kita ketahui, ”filsafat” adalah pengetahuan yang paling tua dalam peradaban manusia. Bahkan untuk kurun waktu tertentu, ”filsafat” adalah satu-satunya pengetahuan yang dikenal oleh manusia. Ini terjadi sebelum orang membuat perbedaan antara ”filsafat”  - yang lebih ”kontemplatif” dan lebih ”metafisikal” -- di satu pihak, dan, ”ilmu pengetahuan” -- yang lebih ”empiris” dan lebih ”fisikal” di lain pihak. Asal-muasalnya adalah ia lahir dari hakikat manusia sebagai ”makhluk yang bertanya”. Manusia bertanya, karena – berbeda dari makhluk lainnya – ia tidak mau secara pasif begitu saja menerima apa yang ada. Manusia juga bertanya, karena ia tidak merasa aman dan nyaman hidup di tengah-tengah misteri. Tidak tahan diseputari oleh hal-hal yang serba asing dan yang tidak dikenalnya. Bila menghadapi situasi seperti itu, ia pasti akan berupaya sekuat tenaga untuk menguasai serta mengubah kesekitarannya itu, untuk kemudian dapat mengeksploitasinya. Inilah yang kita kenal sebagai kemampuan ”kreatif” manusia.  Tapi bagaimana bila – seperti sering terjadi -- kenyataan tidak mungkin diubah? Dengan perkataan lain, bila ”kenyataan” yang ada ternyata jauh lebih perkasa, ketimbang ”kemampuan” manusia mengubahnya? Maka inilah yang akan terjadi. Yaitu si manusia-lah yang akan berusaha mengubah dan menyesuaikan dirinya. Ini disebut sebagai kemampuan ”akomodatif” manusia. Yang terpenting yang hendak saya kemukakan adalah, manusia selalu mengambil sikap terhadap sekitarnya. Dan untuk mengambil sikap itu maka, tidak dapat tidak, paling sedikit manusia harus mengenali kesekitarannya itu. Karena inilah dan untuk inilah, manusia bertanya ”apa?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar