“FILSAFAT”
adalah pengetahuan yang tertua dalam peradaban manusia, karena ia berkutat
dengan pertanyaan yang paling awali dari manusia – ”apa”? Jadi, sejajar dengan
itu, ”filsafat manajemen” menggumuli pertanyaan ”apa” yang ada di balik teknis
dan praktis manajemen. Bila ”motivasi manajemen” terletak di hati sanubari – di
”pusat kehendak” -- manusia, ”filsafat manajemen” bersemayam di otak – di
”pusat kendali/operasi”-- tingkah laku manusia. Ia berfungsi bagaikan ”kompas”.
Menentukan jalan dan arah yang harus ditempuh.
Tahu
banyak tentang bagaimana cara berenang yang benar, tidak dengan sendirinya
membuat orang bisa berenang. Pengetahuan ini bahkan nyaris tak ada gunanya,
bila yang bersangkutan tidak pernah mencemplungkan dirinya ke air dan …
berenang! Yang ingin saya katakan adalah, bahwa tak ada jalan lain untuk belajar
berenang, kecuali dengan berenang! Begitu pula dengan belajar mengemudi,
belajar memasak, belajar komputer, atau belajar apa saja. Memanaje juga begitu.
Anda tidak bisa belajar memanaje, hanya dengan mengikuti sebanyak mungkin
seminar manajemen. Tak peduli berapa juta rupiah yang telah Anda bayar. Tak
bisa pula sekadar dengan masuk ke program S-2 atau S-3 dalam ilmu manajemen.
Sekali pun Anda berhasil mendapatkan ijazah dan meraih gelar. Satu-satunya cara
bila Anda mau belajar memanaje, adalah dengan memanaje. Dan apakah seseorang
adalah benar-benar manajer, ditentukan oleh ”gaya manajemen”nya. Oleh baik-tidaknya ia
memanaje.
KETERAMPILAN
teknis memanaje dan kemampuan manajerial tentu penting. Tapi tidak cukup. Sebab
ada yang sangat kualitatif. Dalam manajemen, ada nilai-nilai yang mendasar yang
tersangkut di situ. Sama seperti pintar cari uang tidak serta merta membuat
seseorang otomatis menjadi seorang suami teladan, begitu pula pandai
berorganisasi tidak dengan sendirinya menahbiskan seseorang menjadi manajer
jempolan. Setuju?
Seorang manajer yang baik adalah seorang yang dapat memanaje dengan baik. Benar! Tapi ”bagaimana” (= how) ia – secara praktis -- melaksanakan manajemennya, ini ditentukan oleh apa yang disebut ”filsafat manajemen”. Artinya, pemahaman yang bersangkutan mengenai ”apa” (= what) manajemen itu. Dan, pada gilirannya, pemahaman mengenai ”apa” manajemen itu, ditentukan oleh ”motivasi” (= why) manajemen yang bersemayam di hati orang per orang. Itu sebabnya, pembicaraan yang panjang lebar mengenai motivasi dan nilai-nilai. Seorang ”tukang manajer” tidak memerlukan itu. Tapi seorang ”manajer sejati” dikemudikan oleh itu.
Seorang manajer yang baik adalah seorang yang dapat memanaje dengan baik. Benar! Tapi ”bagaimana” (= how) ia – secara praktis -- melaksanakan manajemennya, ini ditentukan oleh apa yang disebut ”filsafat manajemen”. Artinya, pemahaman yang bersangkutan mengenai ”apa” (= what) manajemen itu. Dan, pada gilirannya, pemahaman mengenai ”apa” manajemen itu, ditentukan oleh ”motivasi” (= why) manajemen yang bersemayam di hati orang per orang. Itu sebabnya, pembicaraan yang panjang lebar mengenai motivasi dan nilai-nilai. Seorang ”tukang manajer” tidak memerlukan itu. Tapi seorang ”manajer sejati” dikemudikan oleh itu.
Namun
demikian, saya tahu, bahwa semua pembicaraan tentang motivasi dan nilai-nilai
itu akan mubazir, sia-sia dan percuma, bila ia berhenti menjadi sesuatu yang
”normatif” belaka. Artinya, tidak ”operatif”. Karena itu, sekarang saya mesti
menukik ke tataran yang ”sedikit” lebih operasional. Kita akan membahas masalah
”filsafat manajemen”.
APAKAH
”filsafat manajemen” itu? Tentang ”manajemen”, sedikit banyak, kita telah membahasnya.
Tapi mengenai ”filsafat”, belum. Sebagaimana kita ketahui, ”filsafat” adalah
pengetahuan yang paling tua dalam peradaban manusia. Bahkan untuk kurun waktu
tertentu, ”filsafat” adalah satu-satunya pengetahuan yang dikenal oleh manusia.
Ini terjadi sebelum orang membuat perbedaan antara ”filsafat” - yang lebih ”kontemplatif” dan lebih
”metafisikal” -- di satu pihak, dan, ”ilmu pengetahuan” -- yang lebih ”empiris”
dan lebih ”fisikal” di lain pihak. Asal-muasalnya adalah ia lahir dari hakikat
manusia sebagai ”makhluk yang bertanya”. Manusia bertanya, karena – berbeda
dari makhluk lainnya – ia tidak mau secara pasif begitu saja menerima apa yang
ada. Manusia juga bertanya, karena ia tidak merasa aman dan nyaman hidup di
tengah-tengah misteri. Tidak tahan diseputari oleh hal-hal yang serba asing dan
yang tidak dikenalnya. Bila menghadapi situasi seperti itu, ia pasti akan
berupaya sekuat tenaga untuk menguasai serta mengubah kesekitarannya itu, untuk
kemudian dapat mengeksploitasinya. Inilah yang kita kenal sebagai kemampuan
”kreatif” manusia. Tapi bagaimana bila –
seperti sering terjadi -- kenyataan tidak mungkin diubah? Dengan perkataan
lain, bila ”kenyataan” yang ada ternyata jauh lebih perkasa, ketimbang
”kemampuan” manusia mengubahnya? Maka inilah yang akan terjadi. Yaitu si
manusia-lah yang akan berusaha mengubah dan menyesuaikan dirinya. Ini disebut
sebagai kemampuan ”akomodatif” manusia. Yang terpenting yang hendak saya
kemukakan adalah, manusia selalu mengambil sikap terhadap sekitarnya. Dan untuk
mengambil sikap itu maka, tidak dapat tidak, paling sedikit manusia harus
mengenali kesekitarannya itu. Karena inilah dan untuk inilah, manusia bertanya
”apa?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar