Pengertian Sosiologi Politik
Terdapat
beberapa definisi tentang sosiologi yang dikemukakan oleh berbagai
tokoh sosiologi. Benang merahnya adalah bahwa sosiologi pada dasarnya
memusatkan perhatiannya pada masyarakat dan individu, karena menurut
sosiologi, masyarakat sebagai tempat interaksi tindakan-tindakan
individu di mana tindakan tersebut dapat mempengaruhi masyarakat.
Sosiologi juga memahami tentang lembaga sosial dan kelompok sosial yang
merupakan bagian dari masyarakat sebagai unit analisis sosiologi. Selain
itu sosiologi juga mempelajari tentang tatanan sosial serta perubahan
sosial.Politik berkaitan pelaksanaan kegiatan dan sistem politik untuk tercapainya tujuan bersama yang telah ditetapkan, dalam hal ini adanya penggunaan kekuasaan agar tujuan tersebut dapat terlaksana. Perlu untuk dipahami bahwa tujuan yang telah ditentukan tersebut merupakan tujuan publik dan bukannya tujuan individu.Sedangkan sosiologi politik dasarnya berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dan wewenang dalam pelaksanaan kegiatan sistem politik, yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial budaya.
Sumbangan Pemikiran Teori Klasik pada Sosiologi Politik
Dari beberapa tokoh teori klasik sosiologi ada beberapa tokoh yang dianggap banyak memberikan kontribusi dalam hal teori yang sampai sekarangpun masih digunakan sebagai dasar berpikir dalam menjelaskan sosiologi politik. Tokoh tersebut antara lain adalah Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim. Ketiganya dapat dianggap sebagai tokoh yang utama dalam teori klasik.
Meskipun ketiganya tidak secara jelas menjelaskan tentang sosiologi politik tetapi teori-teori dan konsep-konsep mereka tersebut dapat memberikan suatu pemahaman yang mendalam tentang sosiologi politik dengan berdasarkan teori sosiologi klasik.
Persamaan ketiga tokoh tersebut dalam menjelaskan teorinya adalah:
a. Memberikan analisis secara makro
b. Penjelasan bersifat komparasi sejarah
c. Mengemukakan adanya perubahan sosial
d. Teorinya dapat diterapkan di semua tipe masyarakat
Setiap tokoh mempunyai pendekatan dan konsep yang berbeda dalam memberikan kontribusi dalam sosiologi politik. Marx dengan pendekatan materialisme historis dengan konsep tentang kelas, eksploitasi, alinasi, negara serta ideologi. Pendekatan Weber adalah analisis tipe ideal dan sosiologi intepretatif, dengan konsep rasionalisasi, otoritas, kelompok status serta partai politik. Sedangkan pendekatan Durkheim adalah fungsionalisme sosiologis melalui konsepnya solidaritas sosial, anomie dan kesadaran kolektif. Konsep kekerabatan, agama, ekonomi, stratifikasi dan sistem nilai dan kepercayaan bersama merupakan faktor-faktor sosial budaya yang banyak memberikan pengaruh pada pelaksanaan sistem politik, di mana masing-masing tokoh akan mengemukakan hipotesisnya dalam pelak
Titik Pandang Sosiologi Politik
Apa
yang dimaksud dengan Sosiologi Politik? Pertanyaan ini tidak mudah
dijawab. Terdapat perbedaan pandangan di kalangan para pakar sosiologi
politik, yang sulit disatukan. Setidaknya ada dua pandangan tentang
sosiologi politik yang cukup menonjol. Pandangan yang satu melihat
sosiologi politik sebagai studi tentang negara. Sedangkan pandangan yang
lain menjelaskan sosiologi politik sebagai studi tentang kekuasaan.
1. Sosiologi Politik sebagai studi tentang negara
Di
sini kata “politik” dipakai dalam konotasinya yang biasa, yaitu yang
berhubungan dengan negara. Kata “negara “ mengacu pada kategori khusus
dari kelompok-kelompok manusia atau masyarakat. Terdapat dua arti negara
yang patut diperhatikan. Pertama, negara bangsa (nation-state), yang
mengacu pada masyarakat nasional. Yang dimaksud adalah komunitas yang
muncul pada akhir abad pertengahan, yang dewasa ini kuat terorganisir
sekaligus paling utuh berintegrasi. Kedua, negara pemerintah
(government-state), yang mengacu pada penguasa dan pemimpin dari
masyarakat nasional tersebut.
2. Sosiologi Politik sebagai studi tentang kekuasaan
Menurut
pengertian yang lebih modern, sosiologi politik adalah ilmu tentang
kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando, di dalam semua masyarakat
manusia, tidak hanya di dalam masyarakat nasional. Konsep ini pada
dasarnya, memfokuskan pada perbedaaan antara pemerintah dan yang
diperintah. Dalam setiap kelompok manusia, mulai dari yang terkecil
hingga yang terbesar, mulai dari yang rapuh hingga yang paling stabil
terdapat orang yang memerintah dan mereka yang mematuhinya, terdapat
mereka yang membuat keputusan dan orang-orang yang menaati keputusan
yang bersangkutan. Perbedaaan tersebut merupakan fenomena politik yang
fundamental yang dijelaskan melalui studi perbandingan pada setiap
masyarakat dan pada setiap tingkatan sosial.
Kedua
konsep di atas tidak dengan sendirinya memperjelas pengertian sosiologi
politik. Terdapat dua tafsiran umum tentang politik. Di satu pihak,
politik secara hakiki dipandang sebagai pergolakan, pertempuran.
Kekuasaan memungkinkan kelompok-kelompok dan individu yang berkuasa
mempertahankan dominasi terhadap masyarakat dan mengeksploitasinya.
Sedangkan kelompok dan individu yag lain menentang dominasi dan tidak
eksploitatif tersebut. Di sini politik merupakan sarana untuk
mempertahankan hak-hak istimewa kelompok minoritas dari dominasi
kelompok mayoritas. Di lain pihak, politik dipandang sebagian suatu
usaha untuk mengakkan ketertiban dan keadilan. Disini kekuasaan dipakai
untuk mewujudkan kemakmuran bersama dan melindungi kepentingan umum dari
tekanan kelompok-kelompok tertentu. Politik merupakan sarana untuk
mengintegrasikan setiap orang ke dalam komunitas dan menciptakan
keadilan seperti yang dicta-citakan oleh Aristoteles.
Di
dalam kenyataan, apa yang disebut politik itu senantiasa ambivalen. Di
satu sisi, kekuasaaan dijadikan alat untuk mendominasi orang atau pihak
lain. Di sisi yang lain, kekuasaan dijadikan sarana untuk menjamin
ketertiban sosial tertentu atau sebagai alat pemersatu. Kedua paham ini
merupakan dasar teoritis bagi pembicaraan tentang sosiologi politik.
Namun perlu dicatat, bahwa tidak ada suatu teori umum tentang sosiologi
politik yang dapat diterima oleh semua sarjana terkait. Oleh karena itu
merumuskan teori umum tentang sosiologi politik merupakan tantangan
sekaligus peluang bagi sarjana sosiologi politik kontemporer.
Titik
pandang yang dimaksudkan di sini adalah sudut pandang atau pendekatan,
metode yang dipakai oleh para ahli sosiologi politik untuk mempelajari
masalah-masalah yang menjadi objek perhatian mereka. Umumnya para ahli
sosiologi politik mempelajari masalah-masalah seperti berikut :
- Kondisi – kondisi apakah yang menimbulkan tertib politik atau kekacauan politik dalam masyarakat?
- Mengapa sistem-sistem politik tertentu dianggap sah atau tidak sah oleh warga negara?
- Mengapa sistem-sistem politik tertentu stabil, sedangkan yang lainnya tidak ?
- Mengapa ada pemerintahan yang demokratis, dan mengapa ada yang totaliter? Mengapa pula ada pemerintahan yang merupakan kombinasi antara keduanya.
- Faktor –faktor apakah yang menyebabkan variasi pada sistem kepartaian, taraf partisipasi politik, dan angka rata-rata pemilihan suara?
Melalui
pendekatan komparatif kita mempelajari gejala-gejala sosial politik
dari suatu masyarakat tertentu untuk menyoroti fenomena yang kita
hadapi. Pendekatan semacam ini dipergunakan antara lain oleh Ostogorski
dan Michel dalam studi mereka tentang partai-partai politik, dan
diterapkan pada studi lingkungan oleh Almond dan kawan-kawan beserta
Lipset. (Rush dan Althoff, 2002)
Kedua
pendekatan tersebut tidak dipersoalkan. Yang sering dipersoalkan adalah
pendekatan institusional. Pendekatan ini diangap tidak memadai dan
realistis, sebab studi ini mengabaikan realitas tingkah laku politik.
Masalahnya ialah, bahwa pendekatan ini mengkonsentrasikan diri pada
faktor-faktor konstitusional dan legalistik. Dengan kata lain,
institusi-institusi sosial atau lembaga-lembaga sosial merupakan unit
dasar analisis. Dengan demikian orang memberikan tekanan yang berlebihan
pada pandangan bahwa tingkah laku politik itu selalu berlangsung dalam
kerangka institusional. ( Alex Inkeles dalam Maran, 2001). Pakar
sosiologi politik berusaha menyingkirkan kekeliruan-kekeliruan yang
terdapat pada pendekatan – pendekatan lainnya. Pendekatan behavioral
menggunakan individu sebagai dasar dari analisis. Di sini fakta dan
nilai dipisahkan, dan orang membuat generalisasi berdasarkan prinsip
verifikasi.
Pendekatan
ini dikritik berdasarkan dua alasan, pertama, para pengguna pendekatan
ini dianggap terlalu kaku dalam melakukan analisis politik dan sosial.
Sikap kaku dipertahankan demi standar-standar yang tinggi yang
dipentingkan dalam pendekatan ini. Kedua, pendekatan ini mengabaikan
segi-segi yang merupakan kelebihan dari pendekatan-pendekatan lain.
Padahal tidak ada satu pendekatan yang paling baik sempurna.
Bagaimanapun setiap pendekatan adalah parsial. Karena itu berbagai
pendekatan itu bisa saling melengkapi. Dengan demikian dapat diperoleh
suatu pengetahuan yang lebih utuh, misalnya tentang suatu fenomena
sosial politik.
Dalam
bidang sosiologi politik terkenal teori sistem, yang beranggapan bahwa
gejala sosial merupakan bagian dari pola tingkah laku yang konsisten,
internal, dan reguler, dapat dilihat dan dibedakan. Inilah yang disebut
sistem sosial yang terdiri dari subsistem-subsistem yang paling saling
bergantung, seperti halnya kaitan antara ekonomi dan politik. Salah satu
tokoh terkemuka dalam teori sistem adalah Talcott Parsons yang menulis
buku The Social System (1951). Parsons dan kawan-kawan, khususnya Marion
Levy dan Robert K. Merton mengembangkan pendekatan fungsional, yang
kemudian lebih dikenal dengan sebutan fungsionalisme-struktural. Menurut
pandangan ini struktur-struktur sosial yang menentukan peranan-peranan
dengan pola-pola perilaku yang tetap, yang oleh masyarakat diharapkan
dari seorang dokter, politisi, petani, ibu rumah tangga, orang beragama,
warga negara, dan sebagainya.( Veeger, 1985).
Namun
fungsionalisme struktural pun tidak luput dari kritik serta kecaman,
karena dianggap tidak mampu secara tepat memperhitungkan perubahan yang
sistematik; dan secara idiologis jadi bias, karena menjurus pada arah
yang statis atau pada konservatisme. Alternatif bagi fungsionalisme
struktural ditawarkan oleh David Easton yang menulis buku The Political
System. A. Framework for Political Analistical and A Sistem Analysis of
Political Life (1965). Alternatif yang dimaksud berupa analisis
input-output. Secara khusus Easton memperhatikan masalah bagaimana
caranya suatu sistem politik bisa bertahan hidup dan faktor-faktor
apakah yang menyebabkan perubahannya.
Metode
yang sering diandalkan dalam studi sosiologi politik adalah metode
kuantitatif. Termasuk di sini penggunaan survei-survei statistik dan
pengumpulan-pengumpulan data, seperti yang digunakan pada studi-studi
tentang ekologi politik. Para ahli sosiologi politik berusaha
sungguh-sungguh untuk mendapatkan wawasan melalui survei-survei dan
wawancara intensif.
Penggunaan
teori-teori dan model-model tentu saja sangat diperlukan untuk
memperoleh garis-garis pedoman bagi penelitian dan untuk menghasilkan
penjelasan-penjelasan yang memadai tentang gejala-gejala atau masalah –
masalah yang sedang dipelajari. Di sini teori dipakai sebagai suatu
perlengkapan heuristik untuk mengorganisir segala sesuatu yang kita
ketahui, atau segala sesuatu yang kita duga kita ketahui, pada suatu
waktu tertentu, kurang lebih mengenai suatu pertanyaan atau isu yang
diajukan secara eksplisit. (Veeger, 1985). Dengan model tersebut maka
dapat diketahui tentang konsepsi umum tentang alam, dunia dimana
seorang ilmuwan bekerja, suatu gambar mental tentang “bagaimana dunia
itu disatukan dan bagaimana dunia itu bekerja“. Di sini istilah model
mengacu pada suatu gambaran yang lebih umum tentang kerangka utama dari
suatu fenomena utama, yang mencakup ide-ide utama tentang hakikat dari
unit-unit yang mencakup dan pola relasi-relasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar