Bulan agustus ini Suwarno pulang ke
kampung halamannya untuk merayakan lebaran dikampung bersama sanak
saudara. Momen puasa Ramadhan tahun ini bersamaan dengan momen
peringatan kemerdekaan yang ke 66 tanggal 17 Agustus nanti. Disepanjang
jalan desa menuju kerumah warno sudah banyak terpasang bendera merah
putih,umbul umbul dan gapura tanda peringatan tujuh belas agustus dimana
setiap tanggal tersebut diperingati sebagai hari bersejarah terbebasnya
bangsa kita dari penjajahan bangsa lain. “Perjuangan yang
panjang dari para pahlawan indonesia dan sudah sepatutnya kita
menghargainya dan juga melanjutkan perjuangannnya untuk masa kini” begitu batin suwarno dalam perjalanannya pulang kali ini.
Dan setiap warno kembali kekampung
halamannya, ia selalu teringat banyak kenangan dan perjuangan hidup
dengan ibu dan seorang adik perempuannya.Suwarno anak sulung dari Mak
ijah,yang seorang janda beranak dua. Bapaknya meninggal dunia saat warno
dan adiknya masih kecil.Mak ijah harus berjuang sendirian dan mengambil
alih peran pimpinan keluarga untuk membesarkan dan menyekolahkan dua
orang anaknya Suwarno dan Suwarni.Tak terbayangkan beban berat yang
ditanggung mak ijah sejak kematian suaminya. Hidup Mak ijah mulai saat
itu adalah untuk berjuang memberikan pendidikan yang layak untuk anak
anaknya. Biarpun mak ijah hanya lulusan sekolah dasar tapi mak ijah
ingin kedua anaknya bisa bersekolah dengan layak dan dapat memperbaiki
nasib.
“Sumpil, sumpil” begitu suara mak ijah
yang biasa terdengar dipagi hari menyusuri jalan dan gang didesa kecil
itu. Ya, mak ijah berjualan makanan jadi yang disebut “sumpil” atau
biasa disebut “lontong sayur” kalo didaerah lain.Sumpil makanan khas
didaerahnya yang terdiri dari lontong dan sayur lodeh serta ditaburi
bubuk kedelai.Tidak hanya berjualan sumpil saja yang mak ijah lakukan
setiap harinya. Mak ijah juga membawa sayur untuk dijualnya.Selesai
jualan keliling desa, mak ijah biasanya pergi kepasar untuk berbelanja
bahan dan keperluan lainnya untuk “sumpil” yang dijualnya besuk.
Sesampainya dirumah biasanya mak ijah langsung mempersiapkan untuk
merebus lontong. Karena membuat lontong dari daun ini memakan waktu lama
biasanya mak ijah memulainya dari siang hari. Warno dan Warni dua anak
mak ijah yang baik dan patuh kepada ibunya selalu ikut membantu
mempersiapkan barang dagangan ibuknya sepulang mereka dari sekolah.
Seperti membantu membersihkan sayur, membersikah daun pisang untuk
bungkus,menjemur kayu bakar untuk bahan bakar tungku masak, membantu
memarut kelapa, mencuci piring dan perkerjaan rumah yang lainnya. Sejak
SMP warno membantu ibunya mencari tambahan dengan ikut merawat sapi dan
kambing milik pak yono tetangga mereka. Sepulang sekolah dan
beristirahat warno melaksanakan tugasnya untuk mencari rumput dan
membersihkan kandang pak yono. Demikian setiap harinya. Warno memang
anak yang baik dan selalu berusaha membantu dan meringankan beban
ibunya.
Mak ijah memang mendidik warno dan warni
untuk jadi anak anak yang selalu bisa menerima kenyataan dan takdir dari
Allah. Mak ijah mendidik warno dan warni dengan bekal agama yang kuat.
Warno dan warni diminta mak ijah untuk belajar ngaji dirumah pak kyai
abdurahman yang letaknya jauh dari rumah mereka. Walaupun harus berjalan
kaki setiap harinya kurang lebih setengah kilo meter mereka tak pernah
mengeluh.Mak ijah tidak ingin anak anaknya tumbuh besar dengan tidak
mengenal agama dan iman, karena dengan iman mak ijah yakin allah akan
selalu bersama mereka, membantu mereka mengatasi segala permasalahan
hidup.Dan dengan iman pula mak ijah yakin warno dan warni akan jadi
hamba allah yang dipermudah untuk menggapai cita cita dimasa depannya.
Bersyukur warno adalah anak yang cerdas
dan rajin belajar ditengah keterbatasan waktunya yang harus membantu
ibunya. Dan hal itulah yang membuat mak ijah semakin terpacu untuk bisa
menyekolahkan warno paling tidak sampai STM (*sekarang SMK = Sekolah
Menengah Kejuruan). Mak ijah berharap setelah lulus STM warno bisa
bekerja dan membantu ekonomi keluarga, dan ikut membantu biaya adiknya
yang saat ini masih disekolah dasar.Pada akhirnya dengan kegigihan mak
ijah berjuang bisa menyekolahkan warno sampai SMP. Saat di SMP warno
mendapatkan beasiswa karena diusulkan dari desa sabagai anak yang
berprestasi dan tidak mampu. Setidaknya hal ini lebih meringankan mak
ijah. Mak ijah selalu bersyukur kepada Allah atas segala rizki yang
diberikan Allah untuknya. Walaupun mungkin kadang ada tetangga yang
kurang bagus perangainya menyindir dengan kata kata yang menyakitkan.
“Berapa sih hasilmu jualan sumpil dan sayurmu, Mak? Sedikit kan? Mbok
warno disuruh kerja saja biar bantu keluarga nggak usah sekolah
tingi-tinggi, SMP saja sudah cukup mak”. Mak ijah tidak pantang
menyerah, mak ijah rela mencari tambahan uang dengan menjadi tukang
cuci dirumah tetangga yang tergolong kaya dan bisa meminjaminya uang
untuk biaya warno masuk STM.
Mak ijah rela dihina sebagai orang
miskin, tapi mak ijah tidak rela bila dikatakan sebagai peminta minta,
selama dia bisa berjuang untuk keluarganya dengan jalan yang halal
sesuai ridho Allah maka dia akan menjalani semuanya dengan ikhlas. Mak
ijah mempunya prinsip yang kuat walaupun dia hanya seorang janda miskin
yang tidak punya bekal pendidikan yang tinggi. Sering kali dia
memberikan wejangan kepada anak anaknya walaupun kita miskin tapi kita
orang beriman dan berperilaku jujur. Pesannya kepada anak anaknya “Jo
Pek Pinek barange liyan” yang dalam bahasa Indonesia berarti “Jangan
mengambil barang atau hak orang lain”. Mungkin kalimat ini begitu
sederhana namun dalam maknanya. Betapa pikiran mak ijah adalah pikiran
orang yang merdeka secara akal, dia tidak merasa terjajah oleh kemisikan
tapi justru menjadikan kemiskinan itu menjadi ladang amal ibadah dan
pemacu dirinya untuk bangkit membesarkan dan menyekolahkan anak anaknya
hingga jenjang yang tinggi.
Pada akhirnya warno berhasil lulus SMP
dengan danem yang memuaskan dan diterima di STM negeri dikotanya dengan
jurusan Teknik Mesin. Karena kecerdasannya dan tingkah lakunya yang
sopan santun warno berhasil mendapatkan beasiswa disekolahknya.Tentu
sangat membahagiakan dan membanggakan warno bisa meringankan beban biaya
yang harus ditanggung mak ijah. Dengan sepeda bututnya setiap hari
warno berangkat kesekolah yang jaraknya 15 KM. Peluh dan keringat yang
menetes setiap harinya semakin membuatnya bersemangat untuk bisa
memberikan yang terbaik untuk emaknya. Tak dia perdulikan ejekan kawan
kawannya yang naik sepeda motor keluaran terbaru dengan membunyikan
klakson klakson dengan maksud mengejek. Warno hanya tersenyum melihat
tindakan kawan kawannya. Dia yakin Allah sayang kepadanya dan juga
keluarganya. Dengan ujian kemiskinan ini tidak menjadikan warno seorang
anak yang putus asa dan menyerah,ataupun marah pada Tuhan akan
nasibnya. Tidak, tidak sama sekali. Tidak juga rasa malu akan keadaan
dirinya dan juga keadaan emaknya. Baginya emaknya adalah pahlawan untuk
dirinya dan juga keluarganya.
Buah manis dari sebuah perjuangan dan
kesabaran warno akhirnya bisa dinikmati. Ia lulus dengan predikat
sangat memuaskan diantara kawan kawannya dan mendapatkan tawaran
perkerjaan lewat sekolahnya dari sebuah perusahaan beroperasi diibukota
propinsi. Betapa senang hati suwarno dan mak ijah akhirnya warno bisa
membantu perekonomian keluarga dan bisa menyekolahkan adiknya. Tidak
berhenti sampai disitu, saat bekerja warno melanjutkan lagi sekolahnya
disebuah institut teknik pada malam harinya disebuah universitas. Karena
prestasi dan ketekunannya diperusahaan warno sering dikirim untuk
training keluar negeri. Begitu juga dengan prestasinya dikampus yang
bagus pada akhirnya membuat warno lebih memilih jalan menerima tawaran
bekerja sebagai dosen dikampus tempat kuliahnya daripada bergelimang
materi dengan bekerja diperusahaan asing yang memberi penawaran lebih
bagus. Panggilan jiwanya yang ingin mendedikasikan dan memberikan
ilmunya untuk generasi bangsa lebih kuat. Sebagai dosen dia berkeinginan
kuat untuk ikut serta mencerdaskan generasi muda negara Indonesia
sesuai bidang yang telah dia kuasai.Keinginan yang begitu kuat untuk
mengabdi kepada bangsa itu muncul saat warno tersentuh dengan sebuah
petikan dari buku biografi tokoh nasional yang dibacanya “Jangan tanyakan apa yang telah negara lakukan untuk dirimu tapi bertanyalah apa yang bisa kamu lakukan untuk negaramu”.
Dengan mengabdi kepada negara dan menjadi seorang dosen dirinya merasa
berarti dan bisa membagi ilmunya untuk generasi muda penerus bangsa.
Suwarno berjuang untuk Negeri tercinta dengan caranya yang mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar